Ini adalah sebuah cerita yang ditulis oleh saudari seiman di Tangerang...:
“Ummi… kenapa aku diberi nama Haura”
“Karena Kami ingin kau menjadi bidadari…”
***
Hari mulai memasuki senja,
tapi bagi penduduk kampung Shalahuddin, berjalannya waktu hampir tak ada
bedanya bagi kami. Toh tetap saja kami tak dapat menjalani kehidupan
seperti kebanyakan orang. Ahh, mungkin inilah keistimewaan bangsa
palestina. Diuji dengan kesabaran keimanannya.
Langkah-langkah kecil
terdengar bersamaan dengan seruan salam untukku. Ahh, itu pasti bidadari
kecilku yang baru pulang menuntut ilmu di madrasah.
“Umm….Assalamu’ alaikum…”
“Wa’alaikumussalam… sudah pulang,Nak?”
“iya…Umm…”
Ahh, bidadariku, ia terlihat
sangat riang. Ya, ia memang sangat menyukai saat-saat mengaji dengan
Syeikh Azis. Ah, ya, hanya itulah yang dapat menyenangkan hatinya di
tengah kehidupan kami yang penuh terror.
“Umm, tau gak, tadi kata
Syeikh, umat Islam itu satu tubuh, jadi kalau satu terluka maka yang
lainnya akan merasakan sakit….emang bener ya, Umm?”
“Mmm… Iya...”,
“Berarti kalo kita diserang sama tentaraYahudi, umat islam yang lain akan merasa terluka juga ya, Umm?”
Ahh, bidadariku yang
cerdas….harus kujawab apa pertanyaanmu. Aku pun tak tahu apakah
saudara-saudara kita sesama muslim di belahan bumi yang lain ikut
merasakan sakit yang sama saat kita dilukai oleh kaum Yahudi itu.
Ahh, tapi aku tak mau melukai hati bidadari kecilku, “Iya, insya Allah mereka juga ikut merasakan penderitaan kita…”
“Tapi, Umm..mengapa saat abi
dan ka Fath ditangkap oleh tentara Yahudi tak ada satupun yang membela
mereka, terus waktu rumah kita di Az-Zaitun dihancurkan oleh tank-tank
yahudi, mengapa tak ada satupun yang menyalahkan kaum Yahudi itu Umm…?”
Ahh, kesangsian akhirnya keluar juga dari mulut cerdasnya.
“Bahkan, saudara-saudara
muslim di sekitar kita pun tak pernah menentang pemboikotan atas kita,
padahal mereka melihat kita hidup tak layak, padahal mereka dengan jelas
melihat pengusiran dari rumah kita sendiri, padahal mereka melihat kita
di sini hidup berkawan dengan penderitaan….”
Ahh, bidadari kecilku, penjajahan ini telah membuat pemikiranmu tak seperti anak yang berusia 8 tahun.
“Dan saat Ka Faris dan
teman-temannya diberondong dengan peluru oleh tentara-tentara yahudi
itu, tak ada satupun dari saudara-saudara kita yang membela, padahal
mereka hanya mengetapel tentara-tentara itu dengan batu, Umm…”
Ahh, bidadari kecilku, kau
masih saja mengingat peristiwa itu. Ya, satu persatu anggota keluargaku
memang telah Syahid. Suami dan anak pertamaku, ia ditangkap oleh tentara
yahudi karena disangka anggota Brigade Izzudin Al-Qassam. Ah, aku tahu
itu hanya akal-akalan mereka saja. Karena tujuan mereka yang sebenarnya
adalah menghabisi satu persatu warga palestina. Satu minggu setelah
penangkapan itu aku mendengar kabar bahwa mereka telah Syahid, semua
yang ditangkap disiksa oleh para tentara Yahudi, sampai izroil datang
mencabut nyawanya. Anak keduaku, ahh…ia dan teman-temannya memang pantas
disebut jundi Illahi. Ia bergabung dengan pemuda-pemuda palestina
lainnnya “mengganggu” tentara Israel yang tengah berpatroli di dekat
perkampungan kami di Az-Zaitun. Dan ratusan peluru pun mengantarkan
mereka syahid menuju surga. Maka di bumi yang diberkahi ini tinggallah
aku dan bidadari kecilku.
Dua bening Kristal satu persatu mulai keluar dari mataku…Ahh, cukuplah hanya Allah pelindung dan penolong kami….
Tangan kecil hauraa menyeka
bulir air mataku yang jatuh, mulut kecilnya kemudian berucap lagi….”Ohh,
Ummi maafkan aku…Pasti kau sedih ya, Umm mengingat peristiwa-peristiwa
itu…? Ahh, Umm, sekali lagi maafkan aku….”
Bidadariku, sungguh aku justru
bahagia karena kita telah mempunyai tabungan syuhada, karena aku yakin
orang-orang yang kita sayangi telah bahagia di sisi Rabbnya. Aku
menangis karena aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan padamu.
Aku tak tahu mengapa saudara-saudara sesama muslim di sekitar kita
seakan-akan menutup mata dengan perjuangan kita….ahh, sungguh aku
benar-benar tak tahu….
“Sudah yuk Umm, kita
makan….ini tadi aku diberi roti oleh Syeikh Aziz, roti ini yang
diselundupkan dari terowongan oleh para pejuang….Alhamdulillah ya Umm,
sekarang kita bisa makan setelah seharian kemarin kita menahan lapar….”
***
Buuumm…..Bummm… .
Ahh, lagi-lagi kembali ada serangan. Tak punya nuranikah mereka menyerang kami bahkan di malam yang telah larut ini.
Aku langsung saja menyambar
jilababku, mengambil sebuah tas dan memasukkan sisa roti yang tadi
diberikan oleh Syeikh Aziz melalui hauraa. Oh, Hauraa….aku tak menemukan
ia berada di sampingku….!! !
“Hauraaa…..Hauraaa… .”
Aku berteriak di tengah
dentuman bom yang memekakkan telinga. Ya, kami harus keluar dari rumah
jika tak ingin menunggu giliran terkena reruntuhan bom….
“Hauraa…Hauraa… .,dimana kamu , Nak?”, kembali aku memanggil haura.
Dengan tergopoh-gopoh Haura lalu datang dengan memeluk sesuatu….
“Hauraa, ayo lekas kau berkemas….kita harus pergi dari sini…!”
Aku dan Haura pun bergegas
keluar dari rumah. Langit gaza yang hitam kini diwarnai oleh semburan
kembang api. Ahh, tapi tentu saja itu berasal dari bom curah yang
dimuntahkan oleh pesawat-pesawat tempur Yahudi. Ya, akhir-akhir ini
mereka menyerang dengan menggunakan bom itu. Bom yang tak mengenal rumah
siapa yang dijatuhinya. Tapi, memang semua nyawa penduduk Gaza adalah
target mereka. Tak peduli mereka termasuk kelompok Hamas, Jihad Islam,
atau warga sipil.
Dentuman demi dentuman terus
saja terdengar menemani langkah-langkah kami bersama dengan warga
lainnnya. Sejujurnya, kami tak tahu harus lari kemana. Karena lari
keperbatasanpun kami akan disambut oleh pengusiran tentara-tentara
Yahudi itu.
Setelah agak lama aku dan
Haura, juga bersama dengan puluhan warga Gaza berlari tanpa tujuan,
akhirnya dentuman-dentuman bom berhenti juga. Entahlah aku tak tahu
apakah kami mesti kembali ke kampung kami atau harus mengungsi ke kamp
pengungsian. Ahh, tapi ini tanah air kami…. Ini adalah hak kami, maka
kami setelah dirasa suasana sudah kembali aman, kami memutuskan untuk
kembali ke rumah kami.
Puluhan rumah terlihat hancur
dan luluh lantah dengan tanah. Maka, mereka yang rumahnya hancur lalu
akan hidup menumpang ke rumah-rumah yang masih dapat ditempati. Di sini,
kami memang sudah senasib sepenanggungan. Bahkan orang yang rumahnya
masih dapat ditempati dengan senang hati menawarkan tempat tinggal untuk
mereka yang rumahnya telah hancur. Dan aku termasuk ke dalam
orang-orang yang rumahnya masih “selamat”. Maka sekarang, aku hidup
berbagi dengan Ummu Yahya beserta dua orang anaknya, Yahya dan Salma
yang umurnya sebaya dengan Haura. Juga berbagi dengan Ummu Ahmad yang
sudah sebatang kara.
***
“Haura… kemarin kamu mencari apa sampai-sampai ummi harus berkali-kali memanggilmu?”
Senyum Haura kemudian
mengembang. Ia lalu pergi ke belakang mencari tasnya. Beberapa saat
kemudian ia kembali dengan memeluk sesuatu.
“Aku mengambil harta yang paling berharga bagiku… Ini Umm…”, tangannya lalu menyerahkan sebuah bingkai foto kepadaku.
Kuraih bingkai foto itu. Foto
utuh keluargaku. Foto yang diambil lima tahun yang lalu. Di sana
suamiku, Khalid, duduk disampingku. Nampak gagah sekali ia. Fathi dan
Faris remaja, yang juga terlihat gagah berdiri di belakang ayahnya,
serta Haura yang sedang tertawa yang berada dalam pangkuanku.
“Aku rinduu…, Umm. Aku rindu dengan mereka….”
Kutaruh
bingkai itu, lalu langsung saja kudekap haura dengan kedua tanganku.
Aku mendekapnya erat. Ahh, Haura aku juga sangat merindukan mereka. Aku
terus mendekapnya tanpa bisa berkata-kata. Hanya isak tangis yang keluar
dariku. Kudengar juga isakan tangis Haura. Maka, hari itu kami larut
dalam kerinduan kami pada orang-orang terkasih. Kami rindu kapankah
Allah berkenan memanggil kami agar kami dapat segera berkumpul dengan
mereka. Agar kami dapat menyelesaikan semua perniagaan yang telah
dijanjikan ini.
***
Setelah satu minggu sejak penyerangan, keadaan kembali normal. Ahh, meskipun aku tak
tahu apakah kehidupan yang kami jalani bisa dikatakan normal. Tapi tiba-tiba dentuman keras kembali terdengar.
Buumm….Bummm….
Asap tebal membumbung tinggi,
menutupi langit gaza yang cerah.Maka seketika itu pula langit gaza
tertutupi awan kelam. Oh, Rabb….daerah mana lagi yang diserang? Oh,
asapnya berada disebelah barat rumahku. Allah… sepertinya berada di
dekat madrasah.
Ahh, Hauraku… bukankah ia juga sedang menuntut ilmu di sana?
Hatikupun lalu dihantui rasa
kekhawatiran yang luar biasa. Tanpa berpikir lagi aku langsung berlari
menuju madrasah. Tak peduli dengan keselamatanku sendiri. Aku hanya
ingin tahu apa yang telah dikenai oleh bom laknat Yahudi. Haura… apakah
dirimu baik-baik saja…?
“Anakku, berbahaya di sana…”, Paman Abdul berteriak, berusaha menghentikan lanhkahku.
“Sudahlah, ikhlaskan saja,
Anakku… tak ada yang tersisa, semua yang berada di sana pasti telah
Syahid, karena bangunannya luluh lantah dengan tanah”, kali ini Paman
Abdul berhasil menghentikan langkahku.
Aku tak mengerti ucapan paman Abdul, ikhlaskan? Memang apa yang telah diluluhlantahkan oleh Bom Yahudi?
Seakan mengerti suara hatiku
paman Abdul kemudian berbicara lagi… Kali ini madrasah yang menjadi
sasaran, nampaknya tentara-tentara Yahudi itu sengaja menyerang ke sana
karena ingin menghabisi penerus-penerus perjuangan pembebasan Palestina
di masa depan.
Mendengar itu seketika saja
kakiku lemas. Allah, anak-anak itu…. ? Biadab kalian bangsa Yahudi! Aku
tertunduk dan terduduk diikuti dengan isakan tangisku yang keras. Ummu
Yahya kemudian datang dan merengkuh tubuhku. Ia memelukku, lalu iapun
juga menangis… “Sudahlah Ummu Fath, ini sudah takdir Allah, tidakkah kau
harusnya gembira karena semua anggota keluargamu telah syahid di Jalan
Illahi….”
Mendengar perkataan Ummu
Yahya, tiba-tiba saja hatiku menjadi tegar. Ya, aku bangga, semua
anggota keluargaku telah menjemput Syahid, sebentar lagi perniagaan
dengan Rabbku pun akan segera selesai.
***
Setelah keadaan dirasa sudah
cukup aman, aku segera berlari menuju madrasah tempat haura belajar. Ah,
Haura bagaimana keadaanmu sekarang?. Kulihat medrasah yang tadinya
berdiri kokoh kini sudah rata dengan tanah. Beberapa orang tengah
mengevakuasi korban. Berpuluh jasad-jasad kecil sudah dijejerkan di
dekat bangunan yang tidak terkena bom. Ahh, kucari tubuh haura. Tidak,
tak ada Haura diantara jasad-jasad kecil yang terjejer di sana. Ahh,
Haura, apakah kamu selamat, Nak?
Ummu Yahya datang mendekap
jasad Salma, teman sekelas Haura, “Semua hancur, aku khawatir tak ada
satupun dari mereka yang selamat?”
Ahh, gadis kecil, wajahnya
dipenuhi luka akibat serpihan bom, tangannya mengalami luka bakar yang
sangat parah. Lalu Haura, bagaimana keadaanmu Nak?
Aku mengais reruntuhan
madrasah itu. Kuangkat batu demi batu yang menimbun jasad-jasad kecil di
sana. Setelah cukup lama mengais, aku menemukan sepotong jilbab
berwarna hijau. Ahh, bukankah ini milik haura?
***
“Umm, mengapa aku diberi nama Haura?”
Pertanyaan itu kembali terngiang dalam ingatanku.
“Nama itu adalah sebuah doa
anakku, maka kami beri kau nama Haura karena kami ingin kau menjadi
salah satu bidadari di surgaNya kelak…”
Dan, Allah telah mengabulkan doaku.
Maka, tunggulah aku untuk segera menyusul ke SurgaNya. Agar kita dapat
berkumpul dan menjalani kebahagiaan abadi di sana.